Pages

My Blog List

Video Gallery

Rabu, 30 Januari 2013

Masjidku, Sahabatku

“Mimbarku terletak di tepi jalur menuju surga. Antara mimbarku dan kamarku adalah taman dari taman-taman surga.” –HR. Ahmad
Saya sudah bersahabat dengan masjid sejak di semester tiga perkuliahan. Waktu itu saya memutusakan untuk tinggal di masjid karena alasan ekonomis. Awalnya saya tinggal di pesantren. Berhubung saya merasa malu karena tidak mampu bayar uang pangkal dan iuran perbulan, saya akhirnya memilih tinggal di masjid. Alternatif tinggal di masjid karena pertama tidak berbayar, tapi justeu dikasih uang saku. Saya pun tertarik akhirnya.
Saya tinggal di masjid kompleks. Diawal-awal saya merasa nyaman. Namun ke sininya ada yang membuat merasa saya begitu cape. Saya diperlakukan seperti mesin. Disuruh ini itu dan dituntut untuk bisa stand by 24 jam di masjid. Saya tidak sanggup menghadapi itu karena hal itu benar-benar mematikan kreativitas dan pengembangan diri saya sebagai mahasiswa. Manajemennya di kelola oleh seorang mantan pegawai pabrik. Sehingga dia memperlakukan para takmirnya seperti para buruh di pabrik. Persis seperti para penghuni masjid sebelumnya, saya tidak bertahan lama. Saya hanya bertahan empat bulan.
Keluar dari masjid perumahan, saya hijrah ke masjid yang letaknya tidak jauh dari lokasi kampus. Saya pikir ini masjid yang strategis bagi saya. Luas masjidnya lebih kecil dibandingkan dengan masjid yang saya tinggali sebelumnya, sehingga mengurusnya pun tidak terlalu melelahkan. Meski tidak diberi uang saku seperti di masjid sebelumnya, di masjid ini saya merasa begitu senang. Di masjid ini bisa mengaktualisasikan diri. Di masjid ini aku bisa belajar menjadi imam shalat, mengajar anak-anak setiap ba’da maghrib, mengikuti kajian keislaman yang sering dilaksanakan oleh aktivis keagamaan kampus. Intinya di sini saya benar-benar merasa menjadi seorang yang bermanfaat. Saya bertahan di masjid ini selama dua tahun.
Kemudian sepulang KKN saya memutuskan untuk pindah lagi masjid untuk mencari semangat baru. Saya berharap di masjid yang akan saya tempati nanti akan bisa berkarya lebih banyak lagi. Di masjid ini saya sudah lalui sampai hari selama setahun lebih satu bulan. Banyak pengalaman yang penuh hikmah. Di masjid ini saya bisa mengenal lebih jauh karatkteristik masyarakat dan faktor yang menyebabkan mereka menjadi jauh dari masjid.
Saya merasa yakin jika tinggal di masjid itu sudah menjadi bagian dari memakmurkannya. Selama beberapa tahun ini, baru saya sadari bahwa masjidlah yang telah menjaga saya agar tetap berada dalam petunjuk Allah. Baru saya sadari bahwa ayat berikut sungguh telah saya rasakan.
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Saya dapat merasakan bahwa memakmurkan Rumah Allah pahalanya dapat terasa di dunia dan akhirat. Bagi saya pribadi masjid adalah alternatif tempat tinggal selama kuliah dan merantau di Bandung. Saya merasa tidak mampu membayar sewa kos yang mahal. Selama di masjid saya belajar menjadi manusia yang benar-benar dewasa, mandiri, bertanggung jawab. Saya tertuntut untuk menjadi bertanggung jawab mengelola kas masjid yang diamanatkan umat. Saya juga dituntut untuk mencerahkan umat dengan mengajari anak-anak pengetahuan agama, menyampaikan kebenaran agama Islam melalui khutbah Jum’at dan pengajian para ibu.
Adapun bagi diri saya sendiri, masjid telah membuat saya disiplin waktu melalui adzan dan shalat lima waktu. Shalat berjama’ah saya menjadi terjaga. Masjid menjadi sarana yang paling tepat untuk bisa akrab dengan masyarakat. Saya dan teman-teman yang lain kerap diundang untuk mengikuti acara syukuran atau doa bersama ketika ada warga yang tetimpa musibah.
Usaha memakmurkan masjid Allah tidak selamanya menyenangkan. Ada juga rasa perihatin dan kesedihan yang mengiringi. Barangkali ini kasuistik yang tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Sangat memprihatinkan dan menyedihkan saat hendak melaksanakan shalat berjamaah. Shalat Shubuh jama’ahnya hanya kurang dari 10 orang. Terlebih lagi ketika shalat Dzuhur dan Ashar. Semua peran dilakukan sendiri. Jadi muadzin, imam dan makmum sekaligus sudah menjadi kelaziman. Kedua shalat ini minimal dilaksanakan berjama’ah dengan sesama penghuni masjid lainnya atau satu orang jama’ah yang paling rajin ke mesjid yang sejauh ini saya perhatikan dia tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu di masjid. Barangkali satu orang jama’ah ini sudah begitu paham dengan hadis ini. “Beritakanlah kabar gembira kepada orang yang berjalan kaki di malam gelap gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang benderang di hari kiamat.” (HR. Al-Hakim & At-Tirmidzi)
Menggelikan memang, seolah-olah masjid dengan masyarakat sudah hidup masing-masing. Masjid ini sudah cukup dititipkan kepada takmir, mahasiswa yang membutuhkan tempat. Masjid ini seolah-olah hanya milik kami. Segala halnya kami urus. Yang menjaga kebersihan masjid ini hanyalah empat orang, sementara yang mengotorinya lebih dari lima kali lipatnya. Bagaimana bisa masjid tetap bersih? Kami seakan kewalahan. Baru saja pagi hari kami membersihkan lantai, mengumpulkan sampah-sampah, tak lama kemudian siang-siang sampai malam anak-anak pengajian bermain bola dan karet didalam masjid. Mereka membawa makanan dan sampahnya dibuang semaunya. Ketika mereka main kucing-kucingan mereka mengacak-acak karpet yang sudah dirapikan. Kami sudah mereka mengingatkan dan mengajari mereka berulang kali, tapi entah mengapa mereka terus saja melakukannya.
Fasilitas masjid pun tidak terlewatkan. Sapu dan lap sering dijadikan sarana bermain hingga akhirnya rusak. Selanjutnya mikrofon sering dijadikan bahan rebutan. Kebiasaan di masjid ini, jika azan dikumadangkan anak-anak berebutan ingin menyanyikan pupujian. Sayang, mereka hanya berminat untuk narsis di mikrofon. saat ikomah dikumandangkan, mereka segera berhamburan keluar meskipun sebelumnya di suruh membawa mukena dan sarung untuk ikut shalat berjama’ah. Pupujian memang positif, tapi negatifnya mikrofon sering mengalami perbaikan, bahkan terkadang tiap minggu harus diganti. Karena kererbatas dana, akhirnya mikrofon yang sudah rusak, dimodifikasi lagi.
Ada yang paling menyedihkan bagi saya. Sebelum maghrib saya mengepel lantai halaman. Malam hari hujan, entah mengapa kalau hujan, anak-anak selalu membawa sandalnya ke atas lantai. Otomatis lantai masjid yang putih menjadi sangat kotor dan becek. Kejadian ini terlalu sering dan saya tidak mampu mengendalikan perilaku mereka. Mereka tidak mempan dengan kata-kata. Perilaku ini pun tidak hanya anak-anak yang melakukannnya. Pada saat pengajian mingguan ibu-ibu pun ternyata demikian. Jika pengajian, mereka biasanya membawa makanan kecil dan air teh. Ketika mereka membagi-bagikan ada yang tumpah dan bekas air teh itu dibiarkan begitu saja sampai kering. Jika para penghuni masjid tidak memberihkannya, sepertinya tidak akan pernah ada yang mau peduli. Kejadian ini selalu berulang setiap minggu. Saya sempat berpikir apakah para ibu di dr rumahnya pun demikian? Mengapa ini mereka lakukan di masjid seolah-olah mereka tidak merasa memiliki rumah ibadah umat ini.
Hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah kami, bagaimana agar kultur seperti ini bisa diganti. Menjadi tugas kami bagaimana caranya agar masjid melekat di hati mereka. Bagaimana agar masjid itu seolah-olah rumah mereka sendiri sehingga mereka merasa sedih jika ketinggalan satu waktu tidak melaksanakan shalat di masjid. Mereka merasa sedih dan tergerak hati ketika melihat masjid kotor seperti halnya mereka sedih ketika sudah lama tidak pulang ke rumah sendiri dan menyaksikan rumahnya kotor tidak ada yang merawat.
Wallahu a’lam. []

0 komentar:

Posting Komentar