“Mimbarku terletak di tepi jalur menuju surga. Antara mimbarku dan kamarku adalah taman dari taman-taman surga.” –HR. Ahmad
Saya
sudah bersahabat dengan masjid sejak di semester tiga perkuliahan.
Waktu itu saya memutusakan untuk tinggal di masjid karena alasan
ekonomis. Awalnya saya tinggal di pesantren. Berhubung saya merasa malu
karena tidak mampu bayar uang pangkal dan iuran perbulan, saya akhirnya
memilih tinggal di masjid. Alternatif tinggal di masjid karena pertama
tidak berbayar, tapi justeu dikasih uang saku. Saya pun tertarik
akhirnya.
Saya tinggal di masjid kompleks. Diawal-awal saya
merasa nyaman. Namun ke sininya ada yang membuat merasa saya begitu
cape. Saya diperlakukan seperti mesin. Disuruh ini itu dan dituntut
untuk bisa stand by 24 jam di masjid. Saya tidak sanggup menghadapi itu
karena hal itu benar-benar mematikan kreativitas dan pengembangan diri
saya sebagai mahasiswa. Manajemennya di kelola oleh seorang mantan
pegawai pabrik. Sehingga dia memperlakukan para takmirnya seperti para
buruh di pabrik. Persis seperti para penghuni masjid sebelumnya, saya
tidak bertahan lama. Saya hanya bertahan empat bulan.
Keluar dari
masjid perumahan, saya hijrah ke masjid yang letaknya tidak jauh dari
lokasi kampus. Saya pikir ini masjid yang strategis bagi saya. Luas
masjidnya lebih kecil dibandingkan dengan masjid yang saya tinggali
sebelumnya, sehingga mengurusnya pun tidak terlalu melelahkan. Meski
tidak diberi uang saku seperti di masjid sebelumnya, di masjid ini saya
merasa begitu senang. Di masjid ini bisa mengaktualisasikan diri. Di
masjid ini aku bisa belajar menjadi imam shalat, mengajar anak-anak
setiap ba’da maghrib, mengikuti kajian keislaman yang sering
dilaksanakan oleh aktivis keagamaan kampus. Intinya di sini saya
benar-benar merasa menjadi seorang yang bermanfaat. Saya bertahan di
masjid ini selama dua tahun.
Kemudian sepulang KKN saya
memutuskan untuk pindah lagi masjid untuk mencari semangat baru. Saya
berharap di masjid yang akan saya tempati nanti akan bisa berkarya lebih
banyak lagi. Di masjid ini saya sudah lalui sampai hari selama setahun
lebih satu bulan. Banyak pengalaman yang penuh hikmah. Di masjid ini
saya bisa mengenal lebih jauh karatkteristik masyarakat dan faktor yang
menyebabkan mereka menjadi jauh dari masjid.
Saya merasa yakin
jika tinggal di masjid itu sudah menjadi bagian dari memakmurkannya.
Selama beberapa tahun ini, baru saya sadari bahwa masjidlah yang telah
menjaga saya agar tetap berada dalam petunjuk Allah. Baru saya sadari
bahwa ayat berikut sungguh telah saya rasakan.
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Saya dapat merasakan bahwa
memakmurkan Rumah Allah pahalanya dapat terasa di dunia dan akhirat.
Bagi saya pribadi masjid adalah alternatif tempat tinggal selama kuliah
dan merantau di Bandung. Saya merasa tidak mampu membayar sewa kos yang
mahal. Selama di masjid saya belajar menjadi manusia yang benar-benar
dewasa, mandiri, bertanggung jawab. Saya tertuntut untuk menjadi
bertanggung jawab mengelola kas masjid yang diamanatkan umat. Saya juga
dituntut untuk mencerahkan umat dengan mengajari anak-anak pengetahuan
agama, menyampaikan kebenaran agama Islam melalui khutbah Jum’at dan
pengajian para ibu.
Adapun bagi diri saya sendiri, masjid telah
membuat saya disiplin waktu melalui adzan dan shalat lima waktu. Shalat
berjama’ah saya menjadi terjaga. Masjid menjadi sarana yang paling tepat
untuk bisa akrab dengan masyarakat. Saya dan teman-teman yang lain
kerap diundang untuk mengikuti acara syukuran atau doa bersama ketika
ada warga yang tetimpa musibah.
Usaha memakmurkan masjid Allah
tidak selamanya menyenangkan. Ada juga rasa perihatin dan kesedihan yang
mengiringi. Barangkali ini kasuistik yang tidak bisa begitu saja
digeneralisasi. Sangat memprihatinkan dan menyedihkan saat hendak
melaksanakan shalat berjamaah. Shalat Shubuh jama’ahnya hanya kurang
dari 10 orang. Terlebih lagi ketika shalat Dzuhur dan Ashar. Semua peran
dilakukan sendiri. Jadi muadzin, imam dan makmum sekaligus sudah
menjadi kelaziman. Kedua shalat ini minimal dilaksanakan berjama’ah
dengan sesama penghuni masjid lainnya atau satu orang jama’ah yang
paling rajin ke mesjid yang sejauh ini saya perhatikan dia tidak pernah
ketinggalan shalat lima waktu di masjid. Barangkali satu orang jama’ah
ini sudah begitu paham dengan hadis ini. “Beritakanlah kabar gembira
kepada orang yang berjalan kaki di malam gelap gulita menuju masjid
bahwa bagi mereka cahaya yang terang benderang di hari kiamat.” (HR.
Al-Hakim & At-Tirmidzi)
Menggelikan memang, seolah-olah
masjid dengan masyarakat sudah hidup masing-masing. Masjid ini sudah
cukup dititipkan kepada takmir, mahasiswa yang membutuhkan tempat.
Masjid ini seolah-olah hanya milik kami. Segala halnya kami urus. Yang
menjaga kebersihan masjid ini hanyalah empat orang, sementara yang
mengotorinya lebih dari lima kali lipatnya. Bagaimana bisa masjid tetap
bersih? Kami seakan kewalahan. Baru saja pagi hari kami membersihkan
lantai, mengumpulkan sampah-sampah, tak lama kemudian siang-siang sampai
malam anak-anak pengajian bermain bola dan karet didalam masjid. Mereka
membawa makanan dan sampahnya dibuang semaunya. Ketika mereka main
kucing-kucingan mereka mengacak-acak karpet yang sudah dirapikan. Kami
sudah mereka mengingatkan dan mengajari mereka berulang kali, tapi entah
mengapa mereka terus saja melakukannya.
Fasilitas masjid pun
tidak terlewatkan. Sapu dan lap sering dijadikan sarana bermain hingga
akhirnya rusak. Selanjutnya mikrofon sering dijadikan bahan rebutan.
Kebiasaan di masjid ini, jika azan dikumadangkan anak-anak berebutan
ingin menyanyikan pupujian. Sayang, mereka hanya berminat untuk narsis
di mikrofon. saat ikomah dikumandangkan, mereka segera berhamburan
keluar meskipun sebelumnya di suruh membawa mukena dan sarung untuk ikut
shalat berjama’ah. Pupujian memang positif, tapi negatifnya mikrofon
sering mengalami perbaikan, bahkan terkadang tiap minggu harus diganti.
Karena kererbatas dana, akhirnya mikrofon yang sudah rusak, dimodifikasi
lagi.
Ada yang paling menyedihkan bagi saya. Sebelum maghrib
saya mengepel lantai halaman. Malam hari hujan, entah mengapa kalau
hujan, anak-anak selalu membawa sandalnya ke atas lantai. Otomatis
lantai masjid yang putih menjadi sangat kotor dan becek. Kejadian ini
terlalu sering dan saya tidak mampu mengendalikan perilaku mereka.
Mereka tidak mempan dengan kata-kata. Perilaku ini pun tidak hanya
anak-anak yang melakukannnya. Pada saat pengajian mingguan ibu-ibu pun
ternyata demikian. Jika pengajian, mereka biasanya membawa makanan kecil
dan air teh. Ketika mereka membagi-bagikan ada yang tumpah dan bekas
air teh itu dibiarkan begitu saja sampai kering. Jika para penghuni
masjid tidak memberihkannya, sepertinya tidak akan pernah ada yang mau
peduli. Kejadian ini selalu berulang setiap minggu. Saya sempat berpikir
apakah para ibu di dr rumahnya pun demikian? Mengapa ini mereka lakukan
di masjid seolah-olah mereka tidak merasa memiliki rumah ibadah umat
ini.
Hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah kami,
bagaimana agar kultur seperti ini bisa diganti. Menjadi tugas kami
bagaimana caranya agar masjid melekat di hati mereka. Bagaimana agar
masjid itu seolah-olah rumah mereka sendiri sehingga mereka merasa sedih
jika ketinggalan satu waktu tidak melaksanakan shalat di masjid. Mereka
merasa sedih dan tergerak hati ketika melihat masjid kotor seperti
halnya mereka sedih ketika sudah lama tidak pulang ke rumah sendiri dan
menyaksikan rumahnya kotor tidak ada yang merawat.
Wallahu a’lam. []
0 komentar:
Posting Komentar